Naskah Drama

Naskah Drama
Naskah Drama
Wasiat Maya

Tampak sebuah rumah reot dengan dua kursi dan satu meja di depan rumah. Di teras rumah itu pak Wasis tengah duduk sambil menikmati panasnya cahaya matahari. Sesekali dia mengusap keringat yang menetes membanjiri keningnya.
Pak Wasis            : “Apa matahari lagi demam ya? Panasnyaaaaaaaa masyaallah.” (sambil
                               mengipas-ngipaskan tangan)
Ibu Turi                : “Bapak ini lho aneh-aneh saja. Emang ada matahari demam? Matahari
demam ya kebakar semua Paaaak Pak.” (meletakkan segelas es teh diatas meja)
Pak Wasis            :  “Andai Bapak orang kaya ya Buk. Tiap hari ada yang ngipasin.”
Ibu Turi                :  “Makanya kerja yang rajin Pak, jangan cuma menghayal. Hidup itu   dijalani bukan dibayangkan. Emangnya duit turun dari langit.” (duduk di samping suaminya)
Pak Wasis            : “Berkhayal kan boleh saja Buk?”
Ibu Turi                :  “Berkhayal berkhayal bisanya cuma berkhayal. Terserah sajalah.” (bangkit kemudian masuk ke rumah)

Pak Wasis            :  “Aaaaah andai aku dapat hadiah dari seseorang. Minimal rumah kek.
                               Nasiiiiib nasib”. (menyerutup es teh yang mulai tidak dingin)
                            “Ah ini lagi katanya es teh, tapi dingin saja tidak.” (meletakkan gelas di   meja)
Nia                       : “Pak...Bapak...” (teriak Nia berlari-lari di sepanjang jalan menuju rumah)
Pak Wasis            :  “Ini anak pulang sekolah bukannya salam malah triak-triak. Hmn Ada  
                                    apa?”
Nia                       :  “Hehe maaf pak. Nia ulang deh. Assalamualaikum”
Pak Wasis            :  “Wa....”
Nia                       :  “Pak, beliin sepatu ya? Ya ya. Bapak baru gajian kan? Sepatuku udah
       bolong pak tikus aja bisa masuk lho.” (dengan cepat menyela perkataan
       pak Wasis)
Pak Wasis            :  “Nanti nunggu hujan.” (menyerutup es teh lagi)
Nia                       :  “kog gitu?” (menggaruk kepala)
Pak Wasis            :  “Hujan Uang.” (katanya datar)
Nia                       :  “Aaaah Bapak...”
Pak Wasis            :  “Pijitin Bapak dulu.”
Nia                       :  “Aaaah nanti bapak tidur, terus gak jadi.”
Pak Wasis            :  “jadi dibeliin sepatu gak?”
Nia                       :  “Tapi janji ya? Gak bohong ya? Bener ya? Ya pak ya?”
Pak Wasis            :  “Iyaaaaaaa.”
Tangan mungil itupun menelusuri pundak pak Wasis. Memberikan tekanan berulang-ulang hingga membuat tubuhnya rileks.
Pak Wasis            : “Aku akan pura-pura tidur. Setelah dia melihatku tidur, dia pasti akan
pergi bermain dengan temannya. Nah, itulah kesempatanku meninggalkan rumah. Aku akan pergi ke rumah pak Somad sampai malam. Tepatnya sampai dia tertidur. Lalu pagi-pagi sekali aku akan berangkat kerja.” (memutar rekaman suara pak wasis, seolah berbicara dalam hati)

Belum lama Nia memijit bahu pak Wasis, ternyata dia benar-benar tertidur.
LAMPU DIMATIKAN SEJENAK, KEMUDIAN TERANG

“tiiiiiin tiiiiiin tin tiiiiiin” (Suara klakson mobil dari depan rumah).
Pak Wasis terperanjat dari tempat duduknya. Dengan cepat dia mengusap mata lalu mengarahkan matanya ke mobil yang berhenti di depan rumah. Mobil itu mewah, mengkilat dan catnya berwarna hitam. Dari dalam mobil keluar dua orang pria berpakaian serba hitam. Mereka juga memakai kacamata hitam dan menjinjing koper berwarna hitam pula.

Pak Wasis            :  “Apa mereka rentenir? Tapi kan aku tidak punya hutang dengan rentenir?
Atau mereka malaikat pencabut nyawa? Oh tidak, aku belum mau mati. Kan aku belum jadi orang kaya.” (katanya pelan dengan tubuh yang gemetar)
Pria 1                   :  “Apa benar ini rumah pak Wasis?”
Pak Wasis            :  “Iya.”
Pria 1                   :  “Apa benar istrinya bernama Turi?”
Pak Wasis            :  “Iya.”
Pria 1                   :  “Apa benar anaknya bernama Nia?”
Pak Wasis            :  “Iya iya. Itu saya. Emmm Bapak-bapak ini siapa ya? Saya salah apa?”
Pria 2                   :  “ Saya suruhan bapak Rajiman. Beliau meminta kami menjemput Bapak
       sekeluarga.”
Pak Wasis            :  “Rajiman? Apa maksudnya kakekku yang sudah meninggal itu?” (memutar rekaman suara pak wasis, seolah berbicara dalam hati)
“Aduh Paaak. Jangan cabut nyawa kami. Kami kan miskin. Cabut saja nyawa-nyawa orang kaya itu. Jangan pak jangan.” (Ucapnya terbata-bata sambil berlutut).
Pria 2                   :  “Saya bukan ingin mencabut nyawa Bapak. Saya hanya ingin
menyampaikan pesan dari pak Rajiman. Harap panggil keluarga Bapak kesini.”
Pak Wasis            :  “iya iya. Buuuuuuuk ibuuuuuuk. Kemariiiiii.”
(Ibu Turi berlari-lari dari dalam rumah. Nia mengikuti dari belakang)
Ibu Turi                : “Ada apa pak?”
Pak Wasis            :  “Ada Malaikat buk.”
Ibu Turi                : “Malaikat apa? Ngawur”
(Ibu Turi memandangi dua orang pria yang berdiri didepannya. Nia mengikuti ibu Turi sambil mencengkeram daster Ibunya) “haduuuh malaikat betulan. Kog item ya?” (menggaruk kepala)

Pria 1                   :  “Ini untuk ibu dan bapak” (menyerahkan koper di tangannya).
(Pak Wasis membuka koper itu. Matanya melotot dan mulutnya menganga)
Pak Wasis            :  “A.. apa ini?”
Pria 1                   :  “Ini adalah warisan dari bapak Rajiman, masih ada lagi selain ini.”
Pak Wasis            :  “Apa? Ada lagi? Ini benar uang kan? Bukan daun? Haha aku kaya aku
                               kaya. Buk kita kaya Buk. Kita kaya.” (mengambil uang dan
                               menunjukannya pada ibu Turi)
Pria 1                   :  “Sekarang silahkan ikut kami.” (menuju mobil).
Pak Wasis mengikuti kedua pria itu. Dia mengajak istri dan anaknya masuk ke mobil. Bibirnya tak henti-hentinya tersenyum.
LAYAR DITUTUP LAMPU DIMATIKAN

LAYAR DIBUKA LAMPU MENYALA
Tampak sebuah ruangan yang mewah. Catnya serba putih dilengkapi satu set sofa beserta alat elektronik. Pak Wasis memandangi tempat itu terus menerus sambil terkagum-kagum. Ada dua orang wanita cantik disana . Mereka memakai celemek. Dengan senyum yang ramah, pelayan itu mempersilahkan pak wasis  untuk duduk.
Pelayan 1              :  “Ini adalah ruang tamu .” kata salah satu pelayan itu.
Pak Wasis            :  “Ini rumah siapa?”  (sambil tengak tengok).
Pelayan 1              :  “Ini rumah bapak Rajiman yang ditinggalkan untuk bapak Wasis.”
Pak Wasis            :  “Bukannya kakekku orang miskin ya? Masa iya dia punya rumah sebesar
ini? WC saja tidak punya, kalau buang air saja di kali. Ah sudahlah.”
Pelayan 2              :  “Sekarang rumah ini milik Bapak.”
Pak Wasis            :  “Hehh... Benarkah? Waaaah Buk kita kaya buk.”
Ibu Turi                :  “Iya Pak. Jadi sekarang kita tidak perlu makan tempe lagi ya Pak. Ibuk tidak perlu ngutang ikan asin di warung lagi.”
Pak Wasis            :  “Iya Buk.”
Nia                       :  “Wah Nia bisa dapat sepatu baru dong Pak?”
Pak Wasis            : “Iya Nduk. Jangankan sepatu toko sepatunya juga bisa kita beli Nduk.
                               Sekalian yang jual malah.”
Nia                       :  “Kalo gitu kita beli sepatu yuk Pak. Ayo beli.” (menarik baju pak Wasis)
Pak Wasis            :  “Iya Nduk sabar. Nanti dulu kita lihat rumah dulu.”

Nia                       :  “Gak mau. Pokonya sekarang. Nia mau sepatu sepatu sepatu.”
                               (menghentak-hentakkan kaki)
Pak ngadiman menutup telinganya dan menenangkan anaknya. Namun, usahanya sia-sia Nia justru semakin keras meneriakkan kata SEPATU. SEPATU SEPATU SEPATU. Tiba-tiba rumah itu bergetar. Musik dibunyikan, semua orang tampak limbung dan berlari kesan kemari.
BUMNNNNN...

LAYAR DITUTUP

(pak Wasis Jatuh dari kursi)
Nia                       :  “Paaak sepatu pak sepatuuu.”
Pak Wasis            :  “Apa si Nduk?” (mengucek mata)
Nia                       :  “Sepatu paaaaak.”
Pak Wasis            :  “Lho bapak kog disini?” (bangkit dari posisi tadi)
Nia                       :  “Bapak dari tadi kan memang disini. Bapak ini bagaimana?”
Pak Wasis            :  “Hadoooh. ternyata mimpi masyaallaaaaaaaaah.”
Ibu Turi                :  “Ini ada apa si? Kok triak-triak?” (keluar dari rumah)
Pak Wasis            :  “Anakmu ini lho buk. Bapak mimpi jadi orang kaya malah dibangunin.”
Ibu Turi                :  “Bapak ini lho, mimpi lagi mimpi lagi. Mimpi itu diwujudkan bukan tidur.
                               Usaha pak usaha.”
Pak Wasis            :  “Kan mewujudkannya lewat mimpi Buk. Hehe”
Ibu Turi                :  “Terserah paak terserah.” (kembali kedalam rumah).
Nia                       : “Paaaak”
Pak Wasis            : “iya Nduk iyaaaa.” (meraih dompet di saku belakang kemudian mengambil uang seratus ribu dan menyerahkan pada Nia)
Nia                       :  “Terima kasih bapak.” (tersenyum lebar).
Pak Wasis            :  “Hadoooooooh ludes Nduk.”


SELESAI
Advertisement