Butiran Mutiara Ki Hajar Dewantara yang Hilang

Butiran Mutiara Ki Hajar Dewantara yang Hilang
Butiran Mutiara Ki Hajar Dewantara yang Hilang
Butiran Mutiara Ki Hajar Dewantara yang Hilang

Setiap tanggal dua Mei dijadikan sebagai hari pendidikan nasional. Dijadikan sebagai hari pendidikan nasional sebagai bentuk penghargaan pada Ki Hajar Dewantara atas pemikirannya dibidang pendidikan. Ki Hajar Dewantara terkenal dengan sekolah taman siswa dengan pola pengajaran atau metode sistem among. Metode yang digali dari kearifan lokal. Metode yang mengindonesia. Metode yang terlupakan.

Baca juga: Saripati Pemikiran Ki Hajar Dewantara

Pola pengajaran Ki Hajar Dewantara telah tergantikan teori pendidikan Barat. Di kampus teori-teori barat diagung-agungkan sebagai sebuah menara gading. Hal ini telah membentuk pola pikir dan praktek sekuler dalam dunia pendidikan Indonesia; dan apa yang terjadi sekarang ini merupakan hasil dari pola pikir tersebut. Pendidikan tidak berhasil meneguhkan identitas sebagai bangsa melainkan justru telah mencabut sendi-sendi kebangsan sehingga menjadi bangsa yang tidak memiliki identitas kebangsaan yang jelas. Pendidikan sekarang ini telah melahirkan bangsa yang ragu dan gundah wacana dirinya. Semuanya itu sebab hampir tiga puluh tahun lebih pemerintah memakai konsultan pendidikan dari barat yang tindak mengindonesia, “kurang paham” akan budaya atau kearifan lokal yang syarat akan metode belajar.

Ki Hadjar Dewantara memaparkan bahwa sistem Among merupakan metode yang sesuai untuk pendidikan sebab merupakan metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Pendidikan sistem Among bersendikan pada dua hal yaitu : Kodrat Alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya, dan Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak sampai dapat hidup mandiri. Sistem Among sering dikaitkan dengan dalil yang berbunyi : Tut Wuri Handayani, Ing madya mangun karsa, Ing ngarso sung tuladho. Seorang dosen atau guru yang disebut oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai pamong harus menjadi contoh, fasilitor dan mendorong siswa dalam belajar.

Ki Hadjar Dewantara menekankan pentingnya pelestarian keberadaan manusia, dalam arti membantu insan lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai insan yang utuh berkembang menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand ”. Ki Hajar Dewantara ingin mengajarkan pada kita bahwa mengajar dan mendidik siswa merupakan tanggung jawab bersama (Tripusat Pendidikan) suatu upaya pendidikan yang meliputi pendidikan di tiga lingkungan hidup, ialah lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Baca juga: Menciptakan Ruang Kelas yang Efektif

Dalam proses mencar ilmu mengajar Ki Hajar Dewantara menganalogikan kekerabatan guru siswa serupa dengan kekerabatan petani dan tanamannya. Untuk itu guru terhadap para murid harus berfikir, berperasaan dan bersikap sebagai Juru Tani terhadap tanamannya. Orang bercocok tanam harus takluk kepada kodratnya tanaman, janganlah tanaman ditaklukkan pada kemauan petani. Haruslah petani menyerahkan dirinya, yakni menghilangkan kemurkaan dirinya, dengan lapang dada kepada kepentingan tanamannya dan mengejar kesuburan tanamannya semata-mata. Kesuburan tanamannya inilah yang menjadi kepentingan petani. Haruslah ia tahu akan perbedaan antara padi, jagung, dna tanaman lainnya dalam keperluan masing-masing untuk dapat bertumbuh dengan subur dan dapat berhasil. Karena itu perlulah si petani tahu dan mengerjakan segala ilmu atau pengetahuan pertanian, yang benar dan baik. Dalam pada itu janganlah membedabedakan pula dari mana asalnya pupuk, asalnya alat, atau asalnya ilmu pengetahuan pertanian, dan sebagainya; segala yang dapat menyuburkan tanaman menurut kodrat dan irodatnya harus dipakai petani.

Cara atau alat mendidik anak (siswa) menurut Ki Hadjar Dewantara dimulai dari: memberi pola (voorbeeld); penyesuaian (pakulinan, gewoontevorming); pengajaran (leering, wulang-wuruk); perintah, paksaan, dan hukuman (regeering en tucht); laku (zelfbeheersching, zelfdiscipline); pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngroso, beleving).

Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan yaitu memanusiakan insan muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berkhasiat dan kuat di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian. Menghasilkan insan yang berwawasan Nasional Indonesia. Semoga.

*) Ditulis dan dikirim ke oleh Heronimus Delu Pingge. Pengajar di STKIP Weetebula Sumba Barat Daya NTT
Advertisement